REVIEW : PAK TUA YANG MEMBACA KISAH CINTA (LUIS SEPULVEDA)

 


Nama Buku : Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
Penulis : Luis Sepulveda
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : Cetakan Edisi Ketiga, Februari 2024

 

“Namun dalam keputusasaannya, ia tahu bahwa ia tidak cukup mengenal hutan itu untuk bisa membencinya”

Untuk menemukan kedamaian dalam hidup, siapapun akan berupaya sekuat tenaga, sekalipun harus keluar dari lingkungannya. Demikian yang juga dilakukan Antonio Jose Bolivar Proano (pak tua) dan istrinya. Kabur dari gunjingan tetangga mereka dan kenyataan tak dapat memiliki anak, pak tua memutuskan hidup di desa kecil di tengah rimba raya Ekuador Amazon. Beradaptasi dengan banyak hal-hal yang menakutkan dan tanpa prediksi. Rumit dan menyebalkan. Tapi, ditengah kesulitan itu, pertemuannya dengan suku Shuar, penduduk asli hutan tersebut, membuatnya banyak memahami soal hidup. Ia belajar bahasa Shuar, belajar berburu, belajar membuat senjata, hingga belajar hidup menjadi suku Shuar. Kalau kata mereka, “Ia seperti mereka, tapi belum jadi bagian mereka”. Sekalipun hidup begitu sulit, hal yang paling menarik adalah Pak tua banyak belajar soal cinta dari cara-caranya hidup bersama suku Shuar.

“Saat hidup bersama Shuar, ia tak butuh kisah cinta untuk mengenal cinta”

“Inilah cinta sejati tanpa tujuan lain kecuali cinta itu sendiri. Tanpa kepemilikan dan tanpa cemburu”

Pak tua hidup dalam kesederhanaan dan kedamaiannya sembari ditemani bacaan novel-novel cinta picisan yang didapatnya dari rumah bordil hilir sungai. Tetapi, kedamaian itu rupanya begitu mustahil. Saat kapitalisme mulai mengusik peradaban, hutan sebagai rumah Pak tua beserta seluruh makhluk hidup lainnya dibredel. Alam dijadikan wahana industrial seperti ladang minyak, emas dan perburuan binatang. Hingga alam mulai membalas dendamnya lewat seekor macan kumbang yang mengancam seisi desa dan mau tidak mau juga membuat pak tua harus turun tangan langsung menghadapi hewan itu.

Cinta dalam buku ini begitu dalam.Jangan bayangkan novel ini berisi kata-kata melankolis dan romantis karena hal itu tidak mungkin bisa kamu temukan. Bahkan, kata cinta dapat dihitung dengan jari. Tidak lebih dari sepuluh. Namun, cinta ditunjukkan dalam hal-hal yang lebih humanis. Lewat proses bagaimana pak tua belajar hidup dan beradaptasi, kemudian secara mendalam cinta itu melengkapinya untuk bisa menjadi bagian dari masyarakat itu. Karenanya, aku mengerti perasaan pak tua. Ketika alam hancur, ia merasa hidupnya juga hancur. Begitupun sebaliknya.

Aku dapat mengatakan bahwa novel ini bukan hanya cerita seorang pak tua, tetapi juga novel yang mengkritisi eksploitasi alam hari ini yang membabi-buta. Bagaimana hari ini lingkungan di babat habis oleh ketamakan, dengan narasi kecurigaan warga lokal yang membahayakan, tetapi justru hal ini dilakukan hanya untuk memanfaatkan lahan untuk kepentingan penguasa. Novel ini mengajak kita berfikir bahwa kerusakan ekosistem hari ini karena sebab akibat.

Novel ini memang hanya berisi 133 halaman. Dicetak ramping dan tipis dengan cover berwarna hijau yang menggambarkan visual cerita dalam buku ini. Meski tema yang ditulis berat dan kritis, tetapi cara menulis Luis Sepulveda memang gak kaleng-kaleng. Ceritanya mengalir dan gampang dicerna. Karena novel ini ditulis saat sang penulis diasingkan oleh rezim militer Pinochet, sudah dapat dipastikan ceritanya daging.

“Siang hari ada orang dan ada hutan.Malam hari, orang adalah hutan”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Comments

Popular Posts