REVIEW : KUMPULAN PUISI "25" (M TRI SYAFAAN)

 


  • Nama Buku: 25 (Kumpulan Puisi tentang seorang penulis amatir yang menjalani hidup di usia seperempat abad)
  • Penulis : M. Tri Syafaan
  • Penerbit : Kali Pustaka
  • Tahun Terbit : Mei, 2023

 

“dan sejak awal pun aku sadar

sastra adalah aku

dan aku adalah sastra.”

(kutipan puisi berjudul “seharusnya” yang ditulis dihalaman paling belakang buku ini)

Aku ingin membuka tulisan ini dengan menunjukkan bahwa sejak awal buku ini bukan ditulis oleh seorang amatir. M Tri Syafaan, nyatanya betul-betul penyair gila. Sastrawan yang mengabadikan dirinya lewat puisi dan sastra. Setelah Penyair gila yang lari dari kenyataan (2018) dan Untuk Perempuan yang Menghapus Suara di Muka Bumi (2021), buku ini hadir sebagai buku ketiga dan bagian dari fragmen untuk melihat kegilaan penulisnya di sisi lain. Makanya, aku gak kaget, karena sejak cover buku ini kubuka, aku sudah bisa membayangkan bahwa semua hidupnya adalah tentang sastra dan puisi.
 
Pertama, sebagai pembaca buku kumpulan puisi ini, aku diajak untuk mengamati background hidupnya. Pergumulannya dengan masa kecil, penghormatannya kepada Papanya yang pustakawan, kasih sayangnya yang bercampur ketakutan akan tanggung jawab kepada keluarga, menyatu dalam setiap kata yang Ia pilih. Aan sih nulisnya sekena dia, masih dengan bahasanya yang lugas, ceplas ceplos, dan tidak bertele-tele. Jatuhnya mengumpat, tapi gak tahu kenapa ditulis dengan alur yang indah. 
 
Kedua, aku serasa diajak berkeliling naik motor melihat seluruh sudut di Kota Malang. Aku diajak melihat beragam karakter manusia-manusia di sekitarnya yang penuh dengan renjana dan ekspektasi. Rasanya, seperti sedang boncengan naik motor, terus kita ngomentarin orang-orang disekitar sambil ketawa-ketawa. Satir sih. Tapi, anehnya bisa kuterima sebagai bagian dari refleksi diri. Anehnya lagi, aku yang bukan sastrawan saja, bisa merasakan bahwa kecemasannya juga selalu aku alami sehari-hari.

“dan seperti itulah hidup
begitu jauh dari kenikmatan
dan kita selalu diejek kenyataan.”

(kutipan puisi berjudul “lebaran”)

Ketiga, diantara pertengahan buku hingga akhir buku ini akan usai, aku menyadari bahwa perjuangan tentang hidup dan mimpi haruslah tetap dikejar, sekalipun lewat jalur yang tak pernah kita ketahui. Alih-alih membangun dinding batas antara mimpi dan realitas, penulis mendobrak batasan yang ada di depannya. Membuat semuanya rata. Biar hancur sekalian !! biar menyatu sekalian!! Asalkan masih bisa bersinggungan satu sama lain dalam hidupnya. Siaran puisi, orang-orang yang tersisa, dan doa-doa magis yang Ia ucap tanpa kata lewat tawa diantara teman-temannya yang mengadu nasib, adalah bagian dari hidupnya. Hidup disamping sastra.

Buku ini kecil. Enak digenggam. Tetapi daging. Berisi 118 puisi yang ditulis dari berbagai macam kemelut penulisnya. Aku paling suka puisi berjudul “Sastra sampai selesai”, “Lebaran”, "Sepi", "Puisi H”, "Lanjutan Mengadu Sepi" dan “pertanyaan-pertanyaan di dalam kepala”.  Puisi dalam buku ini memberi tambahan energi bagi pembacanya, terutama bagi kamu yang juga sedang berada dalam kondisi yang penulis alami ketika menulis buku ini. Buku ini adalah teman. Teman sambat, tapi juga teman memberi semangat. Kalau tidak percaya, baca saja puisi yang berjudul “Senja di Kota Malang Sore ini”. Kutipannya seperti ini:

“aku sudah capek
kan aku bukan orang yang sombong
jadi setiap orang yang ada di sana
yang mengucapkan terima kasih padaku
terus saja aku jawab satu-persatu
 
mereka berkata:
terima kasih telah bekerja keras
sampai-sampai senja
bisa muncul di kota ini
 
aku pun menjawab:
sama-sama
kukembalikan kasih ini kepadamu
semoga dirimu juga bahagia seperti aku
aamiin”

(kutipan puisi “Senja di Kota Malang Sore ini” yang ditulis oleh M Tri Syafaan)

Silakan hubungi saja penulisnya di instagramnya @trisyafaan atau di akun Youtubenya Tri Syafaan. Siapa tahu kamu ingin memiliki buku ini di rakmu.

-nil


 

 

 

Comments

Popular Posts