Beberapa hari ini, ada banyak kejadian dalam hidupku yang membuat aku merasa tidak terlalu bersemangat. Aku harus kehilangan seseorang di saat aku sayang-sayangnya, dan segala hal yang berhubungan dengan orang itu harus dimusnahkan dengan sangat cepat.

Lalu beberapa waktu yang lalu, aku mulai menyukai sebuah buku.
Ini dia buku yang ku rekomendasikan. Merayakan Kehilangan dari Brian Khrisna.
Penulis muda berbakat.
Kalo penasaran, kalian bisa mengunjungi tulisannya di mbeeer.tumblr.com atau di instagram @brian.khrisna

Buku ini cocok untukku.
Cocok  juga untuk semua orang yang ingin merayakan kehilangan dengan damai.
Yang menarik, buku ini juga cocok mengobati kehilangan dengan sangat.
Aku menemukan banyak quote di saat merayakan kehilangan.
Semoga juga bisa membantu teman-teman yang lagi galau ya :

Apakah pulangmu tak berarti pergi lagi? Siapa yang bisa menjamin? Aku dulu pernah percaya kau akan selalu tinggal. Tapi nyatanya? Akhirnya kau tetap pergi juga. 
Kita pernah jatuh cinta di waktu yang sama. Namun kita tidak pernah bisa bersama.
Rasanya sia-sia sekali menghabiskan begitu banyak waktu hanya untuk menyadari bahwa kau adalah orang asing yang sekedar mampir, tinggal sebentar, kemudian pergi untuk menjadi asing lagi.
Ramadhan tahun kemarin masih bersama, sekarang sendiri-sendiri. Ramadhan tahun kemarin masih bahagia, sekarang kadang sedih sendiri. Ramadhan tahun kemarin buka bersama sering sekali, sekarang tahu kabarnya sedang apapun tidak ada kesempatan barang sekali. Ramadhan tahun kemarin masih sering bertemu tanpa segan, sekarang bertatap muka saja enggan. Ramadhan tahun kemarin masih saling nyapa, sekarang tidak ada lagi notifikasi-notifikasi atas namanya. Ramadhan tahun kemarin masih berdoa untuk meminta izin bersama di tahun yang selanjutnya, sekarang doanya melambung tanpa ada namamu di dalamnya. Hanya berjarak 355Hari dari tahun kemarin, tapi yang dulu selalu ada, kini telah tiada.
Percayalah, jika aku sudah menulismu dalam tulisanku, maka hanya akan ada dua kemungkinan. Aku sangat mencintaimu, atau aku sangat membencimu.
Kau tak perlu menjadi yang lebih baik dari segala masa laluku. Bagiku kau tidak pergi saja, itu sudah jauh lebih baik dari mereka-mereka yang dulu.
Aku telah melalui berpuluh-puluh sakit hati. Berkali-kali terluka dan diusir pergi secara paksa. Maka jika datang suatu hari dimana aku mencintaimu, percayalah bahwa itu sejujur-jujurnya aku dalam mencintai.
Percayalah, suatu saat kau akan gagah berdiri. Bahkan mendengar namanya terucap pun kau hanya tertawa dan merasa biasa saja.
Berapa banyak dari kita yang memaafkan hanya karena takut kehilangan? memperpanjang luka demi bahagia yang sesekali ada. Mungkin aku salah satunya.
Kau baik. Kau mengajarkanku bahagia. Kau mengajarkanku kesabaran. Kau mengajarkanku kedewasaan. Tapi kau jahat, karena tidak mengajariku bagaimana caranya  tegar di hadapan kepergianmu. 
Tak bisakah kau mengerti? Aku selalu memilihmu. Dari semua yang datang. Dari semua yang memintaku untuk meninggalkanmu. Dari setiap orang yang meminta untuk menggantikan tempatmu di hatiku. Aku tetap memilihmu. Aku selalu.
Merelakan sesuatu yang sudah terlanjur nyaman, melepaskan sesuatu yang bahkan tak sempat kau peluk, mengikhlaskan kepergian yang sebenarnya ia tak penah ada, merasa punya padahal memiliki pun tidak, meredam cemburu karena tidak berhak, semuanya: Aku pernah.
Hubungan kita berakhir di kata seharusnya. Seharusnya tidak bertemu. Seharusnya tidak jatuh cinta. Seharusnya tidak perlu merasakan luka. Padahal belum pernah bersama.
Ironisnya, sekarang kau menjadi orang asing, yang mempunyai kenangan begitu akrab di kepala.
Butuh sejauh apa lagi untuk merayakan kehilanganmu? Butuh berapa banyak lagi yang harus ku korbankan untuk bisa bahagia melihatmu bahagia? Baiknya mungkin memang begini. Jarak terjauh untuk merayakan kehilangmu adalah ditemukan oleh orang yang baru. Membuatku dan kamu menjadi mengerti, bahwa melepasku dulu adalah kesalahanmu, dan memilih untuk tidak memaksamu bertahan ternyata adalah pilihan terbaikku.
Aku bisa mencari yang lebih baik darimu, tapi aku tetap memilih tinggal. Tentu kau juga bisa memilih yang lebih baik dariku. Dan luar biasanya, kau memilih untuk tanggal. Bagiku, yang baik adalah yang diperbaiki. Bagimu yang baik adalah memilih pergi. Maaf, tapi semoga melihatku bahagia, bahagiamu adalah pura-pura. 



Semua di dunia ini berubah. Bernih berubah menjadi bunga. Telur burung berubah menjadi burung. Hingga anak kecil berubah menjadi orang dewasa.

Apakah arti sesungguhnya dari berubah?
Apakah ia yang hanya memiliki perbedaan secara fisik terlihat tak sama dengan sebelumnya?
Apakah ia yang hanya begitu begitu saja tapi untukmu rasanya sudah tak sama lagi?
Atau apakah ia yang hanya kau lihat aneh dan sudah tidak mau kau kenal lagi?

Mengapa berubah selalu identik dengan hal yang negatif.
Berubah seakan adalah proses paling aneh dan tidak diinginkan, dan menjadi alasan banyak rang memutuskan untuk pergi tanpa mau mendengar orang lain. Padahal berubah menurutku bukanlah ukuran dia akan mempengaruhimu menjadi lebih baik. Anak kecil saja berubah menjadi lebih baik agar lebih dewasa. Lantas apakah berubah itu tidak penting?

Lalu pagi ini, teman lamaku berkata "kamu sudah banyak berubah ya sekarang?" Ucapnya.

Aku membisu. Ini bukan pertama kalinya ku dengar kata itu.
Kebanyakan temanku berkata hal yang sama, dan akhirnya memutuskan untuk menjauh dan pergi.

Aku bertahun pada waktu, mungkin sebentar lagi dia menjauh. Toh hampir semua manusia tak menyukai perubahan dan lebih suka menuntut orang lain menjadi yang dia inginkan.

(Nil)

Tersebutlah seorang Nona Kesepian. Ia tak punya siapapun di dunia. Kegiatannya setiap hari hanyalah melamun dan merenung. Ia tak tahu bahagia itu seperti apa. Karna ia tak pernah punya ekspresi. Setiap hari ia hanya tau rasanya bosan.  

Lalu suatu hari, ia bertemu Tuan Kesepian. Dibanding Nona, Tuan kesepian masih bisa hidup dalam keramaian. Ia tahu rasanya bahagia. Tapi dalam ramai, ia merasa sepi. 

Suatu hari, di sebuah amfiteater tua, mereka bertemu. Keduanya jatuh cinta dan akhirnya memutuskan bersama. Mereka saling mengisi kekurangan, mereka saling berdiskusi, dan berjalan bersama mencari ketenangan.

Tapi sang Tuan tiba-tiba merasa bosan. Ia pergi ke sebuah rumah bergaya modern dan tak pernah kembali kepada Nona kesepian. Nona kembali kesepian. Dalam kesepian, ia mati kehilangan. (Nil)