Nama Buku                         : Rumah Tanpa Tangga
Penulis                                 : Latif Fianto
Penerbit                              : AJ Group Digital Marketing Developer X Spasi Book
Tahun Terbit                      : Oktober 2019
Isbn                                       : 978-602-0708-44-7 
Dimensi Buku                    : 152 Hlm, 14x20 cm

Harga Buku                         : Rp. 58.000.,


Mungkin karena rumahku yang tidak menjanjikan keindahan, apalagi terasnya sudah nyaris roboh, hanya menunggu waktu untuk melihat atapnya menyentuh tanah.” (Cerita Seputar Rumah Tanpa Tangga, hal 51)

Waktu pertama kali membaca judulnya, saya sudah berfikir ‘Wah, sebentar lagi saya akan mulai menangis’. Menurut saya, rumah tanpa tangga punya arti yang sangat dalam. Mungkin bisa jadi artinya seperti sebuah kehidupan yang belum komplit, mungkin artinya juga bisa seperti sebuah tempat ternyaman yang dipilih tapi belum sempurna, atau bisa jadi artinya adalah kehilangan-kehilangan yang berarti. Karena itulah, untuk saya pribadi, buku ini jelas menyimpan kesedihan dalam setiap kisahnya yang jelas akan membuat pembacanya berkaca-kaca. Dan ternyata benar!!

Rumah Tanpa Tangga adalah buku kumpulan cerpen karya Latif Fianto yang pernah dimuat di media cetak nasional seperti Republika, Radar Surabaya, Minggu Pagi, Sinar Harapan, Padang Ekspres, Riau Pos, Malang Post, dan lainnya. Berisi 17 cerita pendek yang berfokus pada kisah-kisah cinta dan luka yang berdiri sendiri satu sama lain, buku ini membawa kesakitan-kesakitan yang tunggal dalam setiap cerita yang disampaikannya. Rumah Tanpa Tangga adalah kumpulan cerita-cerita lokal daerah yang kental dengan budaya sehari-hari, yang ditulis dengan sangat jujur dan alami. Bayangkan saja, lewat satu buku ini, kita akan menemui beragam cerita yang mengangkat isu mistis daerah, perjodohan, pernikahan, hingga penipuan.

Seperti pesan yang saya temui dalam cerita ‘Sumberawan’, ‘Air Terjun Putri Nglirip’, hingga ‘Rumah Kuburan’. Cerpen tersebut menceritakan pengalaman mistis dan pencarian jati diri tokoh dalam cerita yang kebanyakan sepasang laki-laki dan perempuan. Sementara ‘lelaki yang menangis lewat petikan gitarnya’ bercerita tentang peristiwa spiritual tokoh pertama yang sangat dalam dan misterius dan ‘Cerita Seputar Rumah Tanpa Tangga’ menyuguhkan fenomena yang dialami masyarakat sekitar hingga akhirnya mengajari kita tentang hidup. Dalam setiap cerita, penulis menyertakan dialog-dialog dari masing-masing tokoh cerita yang membuat kita sebagai pembaca wajib menyimak pelan-pelan percakapan tersebut. Meski beberapa yang lain di tulis dengan penuh misteri, Latif Fianto tidak gagal membuat pembaca terkejut dengan ending cerita. Plot twist yang disimpan di tengah-tengah cerita membantu sekali pembaca memenuhi isi kepalanya dengan rasa penasaran sampai akhir.

Latif juga berusaha mengeksplorasi tokoh yang dia jadikan tokoh utama dalam setiap cerita. Contohnya seperti pada cerpen ‘Perempuan yang Duduk di Dekat Jendela’ yang menarasikan seorang perempuan yang kerap ditemui tokoh utama selama Ia mengajar di kelas. Cerita ini agaknya menjelaskan rasa penasaran tokoh utama pada perempuan tersebut dan akhirnya menemui jawabannya. Juga ada pula kisah ‘Mukena’ yang menggunakan tokoh perempuan sebagai karakter utamanya. Di luar dari perkiraan, nyatanya Latif Fianto dapat mendalami perasaan perempuan yang putus komunikasi dengan laki-laki yang disayanginya. Pun dengan cerpen berjudul ‘Senja Bersama Aling’ yang menceritakan pengalaman cinta yang besar tokoh utamanya dengan sosok luar biasa bernama Aling.

Selain penggambaran karakter tokoh yang ditulis Latif Fianto dengan tegas, dalam buku Rumah Tanpa Tangga, Ia juga menggambarkan keragaman setting cerita yang diambil dari beragam lokasi, budaya, agama, dan kelompok masyarakat. Contohnya ada pada beberapa cerita seperti ‘Lelaki Hujan’ dan ‘Api Kenangan’ yang menggambarkan kisah perjodohan yang sering terjadi. Kisah ‘Sumberawan’ malah mengambil lokasi lokal di sekitar lingkungan penulis alih-alih mengambil lokasi Ibu Kota atau Kota-kota besar lain yang khas dengan modernisasi. Banyak juga cerita yang mengambil latar daerah di pulau Jawa dan ini jelas menunjukkan bahwa penulis kerap memasukkan perasaannya dan observasinya secara detail ke dalam cerita-cerita yang ditulisnya.

Apa lagi ya??

Secara garis besar, saya senang dapat membaca buku ini. Buku bercover Kuning-hitam ini memiliki sampul yang sederhana yang menggambarkan ilustrasi sebuah rumah kayu di atas dataran tinggi yang terjal, dengan tulisan judul “Rumah Tanpa Tangga” yang menggunakan pilihan font tegas dan jelas. Pada Cover belakang, kita juga bisa menemui sinopsis buku yang berasal dari testimoni sastrawan dan dosen Universitas Brawijaya Malang, Yusri Fajar dan keterangan buku lainnya seperti logo penerbit dan ISBN. Buku ini pas berada di tangan saya karena buku ini memiliki komposisi ketebalan yang sedang sehingga tidak akan susah bila dibawa kemana-mana. Kamu tidak perlu khawatir bila ingin membaca buku ini di luar kamar karena buku ini tidak berat dan tidak tebal. Buku ini juga sangat cocok dengan kamu yang sangat suka karya sastra yang lumayan berat tapi kental dengan nilai-nilai budaya lokal. Juga sangat cocok untuk kamu yang ingin keluar dari cerita-cerita berbau happy ending yang begitu-begitu saja. Meskipun demikian, beberapa cerita sepertinya terkesan di selesaikan dengan tergesa dan membuat penulisannya kadang kurang memiliki fokus. Meski demikian tulisannya yang sederhana mampu membawa pikiran pembaca ke dalam inti cerita lagi. (Nil)  



Tidak, ini lebih dari yang kamu rasakan. Setiap orang pasti pernah jatuh dan terluka. Tapi setiap yang jatuh dan terluka pasti memiliki kadar yang berbeda.” (Lelaki Yang Menangis Lewat Petikan Gitarnya, hal 35)




Nama Buku    : Neraka Cermin
Penulis            : Edogawa Rampo
Penerjemah    : Anton WP
Penerbit          : BukuKatta
Tahun terbit   : 2011
ISBN                 : 978-979-1032-50-6 
Jumlah Hal  : 104 halaman; 13,5cm x 20,5cm

Dan bagi diri saya sendiri, saya rela menemukan kepuasan murni dalam cintanya sebatas sebuah benda. Saya mendapatkan penghibur hati dengan percaya bahwa perasaan cintanya pada kursi cukup kuat untuk menembus kepada makhluk yang berada di dalamnya yaitu diri sendiri.” Kursi Bernyawa – Edogawa Rampo Hal 60.

Saya pribadi menemukan buku ini dalam tumpukkan beragam buku menarik di acara BBW Surabaya pada tahun 2018 silam. Karena satu dan dua hal, buku ini terlambat saya baca, dan akhirnya baru bisa saya selesaikan minggu ini. Saya memilih buku ini karena tentu saja karakter Edogawa Rampo yang dikenal dunia sebagai bapak misteri sangat melekat di pikiran saya. Alasan kedua, karena memang dari dulu saya sudah penasaran dengan isinya. Dan benar, saya suka cara Edogawa Rampo menceritakan kisah-kisah dalam buku ini. Seakan nyata, meski sudah dapat ditebak, cerita dalam kisah ini adalah fiksi.

Buku ini menyimpan enam cerita pendek yang seolah-olah bernyawa. Ada neraka cermin, Jurang, Kembar, Kursi Bernyawa, Dua Orang Pincang, dan Ulat. Keseluruhan dari cerita tersebut cukup membuat saya tidak mau berhenti membacanya. Saya jelas tidak akan cerita seperti apa rasanya, karena saya percaya bahwa setiap orang harus merasakan sendiri rasanya menyelesaikan cerita. Jadi saya tidak akan spoiler. Tapi, kalau boleh memilih, saya akan memilih cerita kursi bernyawa sebagai cerita favorit saya.

Terus terang, buku ini sedikit mengecewakan dari segi covernya. Selain itu, editing tulisannya yang terlalu kaku juga membuat saya kurang nyaman membaca. Tetapi, sejauh ini, buku ini tidak banyak merubah isi penting dari cerita-cerita yang ingin disampaikan.


















Nama Buku      : Burial Rites Ritus-Ritus Pemakaman
Penulis              : Hannah Kent
Alih Bahasa     : Tanti Lesmana
Penerbit            : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit      : 2014
ISBN                : 978-602-03-0906-4
Jumlah Hlm     : 416 hlm; 20 cm

lelaki yang luar biasa, lelaki dari buku-buku cerita-telah memilihku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, seseorang melihatku, dan aku mencintainya karena dia telah membuatku menjadi diriku semata-mata sudah cukup. Agnes, hal 271-272.

Apa kamu menyukai novel-novel bergenre Roman Kontemporer? Atau belum pernah membaca novel bergenre seperti ini? Sepertinya novel ini akan jadi rekomendasi paling menarik yang aku berikan kepadamu. Bagaimana mungkin sebuah cerita bersetting tahun 1829 dan bercerita tentang sebuah kisah tragedi nyata ternyata memilih kisah yang cukup mendalam bagi tokoh utamanya? Bagaimana membaca kisahnya kita digiring seperti kita dapat mengenal tokoh utamanya secara lebih mendalam dan akhirnya memahami apa alasan terjadinya tragedi dalam novel ini?

Kamu akan berkenalan dengan Agnes Magnusdottir, seorang pelayan wanita biasa yang hidup berpindah-pindah dari satu pertanian ke pertanian yang sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati atas dirinya. Kota kecil di Islandia Utara, tempat Agnes diasingkan sebelum menerima hukuman tidak memiliki sebuah penjara sehingga Ia akhirnya ditempatkan di rumah keluarga petugas wilayah bernama Jon Jonsson. Bersama Istrinya Margret, dan kedua anaknya Lauga dan Steina, serta satu asisten Pendeta bernama Toti, Agnes mengalami pergolakan batin selama mempersiapkan diri menerima hukuman.

Penulis Novel ini begitu kurang ajar mengajak kita sebagai pembaca ikut larut dalam kisah-kisah misterius Agnes. Agnes yang sejak kecil hidup dalam belas kasihan orang lain, merupakan pelayan yang cerdas, yang jatuh cinta pada Natan Ketilsson. Laki-laki pertama dalam hidupnya yang melihat dia apa adanya. Laki-laki ini lah yang ditemukan tewas dibunuh dan diduga aksi tersebut dilakukan oleh Agnes dan dua orang terdakwa lainnya. Bagiku, Agnes dengan kisah misteriusnya terus menggirim pikiran kita untuk lebih memahami perasaan Agnes tentang berbagai hal seperti masa lalunya, hingga apa saja yang dialaminya selama ini. Perbincangan ini juga yang membuat Toti akhirnya paham bagaimana perasaan Agnes sesungguhnya.

Terlepas dari kisah roman yang menjadi poin dari kisah dalam novel ini, sebenarnya menurutku novel ini juga membaca pemahaman baru tentang bagaimana kondisi sosial masyarakat pada saat ini di tahun 1829. Bagaimana perbudakan masih sering disahkan, bagaimana perempuan diberikan posisi yang rendah dibandingkan laki-laki. Budaya Islandia yang kental juga dapat kita rasakan ketika kita membaca cerita-cerita dari masing-masing bab. Point penting lain yang ada dalam novel ini adalah bagaimana penulis tetap mencantumkan penggalan-penggalan ayat yang justru menebalkan keimanan kristiani yang membacanya.

Buku ini sebenarnya diangkat dari kisah nyata. Meski beberapa cerita adalah fiksi yang ditambahi, penulis berterusterang bahwa ia telah berusaha mengumpulkan berbagai data dari berbagai surat, catatan-catatan gereja, arsip-arsip paroki, artikel, hingga hasil wawancara dengan masyarakat setempat saat menulis kisah ini.  Meski demikian, penulis berusaha untuk memberikan kejutan di tiap bab yang kita baca dengan menampilkan alur yang maju mundur. Selain itu, buku yang kubaca adalah buku terjemahan yang sangat bagus. Aku mengapresiasi penerjemah yang berhasil menyempurnakan buku ini dengan pilihan katanya yang cukup familiar untuk dipahami. Sayangnya, aku pribadi masih sedikit terganggu dengan tokoh ‘aku’ yang digambarkan dalam cerita. Ketidakkonsistenan merupakan salah satu alasannya. Jadi kadang aku masih salah menebak siapa tokoh aku karena banyak tokoh dalam novel ini menjadi tokoh aku.

Mereka tidak membolehkan aku menyampaikan peristiwanya dengan caraku sendiri, mereka mengambil kenangan-kenanganku tentang Illusgastadir, tentang Natan dan memelintirnya menjadi sesuatu yang jahat; mereka merampas kenyataanku  tentang malam itu dan membuatku tampak keji.” (Hal 127)
 Kami akan mengingatmu, Agnes.” Margret meremas tanganku lebih erat sampai aku nyaris memekik oleh rasa sakit. Dan tahu-tahu aku menangis.  Aku tidak ingin diingat. Aku ingin berada di sini! (Hal 394)






Dulu, aku punya seorang teman.
Kebiasaanya yang selalu ku kritik adalah menghilang dan lari dari kenyataan.
Aku selalu lihat dia bahagia, hidup dengan banyak keberuntungan yang aku inginkan.
Dia tak pernah kesusahan mendapatkan buku yang aku incar,
Dia tak pernah kesulitan mengerjakan seluruh soal yang aku kerjakan.
Bagiku saat itu, dia adalah pusat dunia orang lain.
Itu sebabnya dia nampak terlalu bercahaya di mata semua orang yang melihatnya.

Tidak seperti manusia lain, aku mengkritiknya karena payah telah mencoba pura-pura lemah.
Ku bilang dia tidak punya alasan melakukan itu.
Menghilang dan lari dari kenyataan hanyalah kebiasaan yang bisa dilakukan orang yang tak punya harapan.
Temanku itu hanya tersenyum. Dia tak pernah sedikitpun membalas ocehanku.
Empat tahun kami berteman, temanku terus melakukan itu.
Dan aku menyerah menasehatinya.


Hari ini,
Di tengah kebisingan jalanan dan panas matahari siang bolong,
Aku melakukan hal bodoh yang aku tidak sukai dari temanku itu.
Menghilang dan lari dari kenyataan.
Lalu detik ini pula, aku menyadari jawaban dari pertanyaan bodoh dan kurang ajarku pada temanku dulu.


Menghilang dari mata satu manusia yang sering kita temui bukan berarti lalu sirna. Hilang ditelan bumi atau mati di kubur hidup hidup seperti kita tidak ada lagi. Melarikan diri dari kenyataan juga bukan berarti hilang tanggung jawab. Sontak kemudian hanyut dalam dunia malam, lupa ingatan, atau kemudian tidak mengenal siapa siapa lagi di hari berikutnya kita hidup. 

Aku baru sadar, bahwa menghilang dan lari dari kenyataan yang dilakukan temanku dulu dan aku saat ini adalah membiarkan diri kita keluar sementara dari topeng dan memberi waktu baginya merasakan hidup sekali-kali. Meski dalam kegiatan menghilang dan melarikan diri itu kita masih akan terus menanggung pikiran tentang apa yang kita tinggalkan, hidup hari itu akan membuatmu sedikit bernafas seperti manusia bodoh yang tak salah apa-apa. Meski dalam kegiatan menghilang dan melarikan diri itu, kita pastilah akan terus berfikir tentang keberadaan orang-orang yang kita sayangi. Kita akan bertanya-tanya 'apakah mereka mencari?' tapi dalam  pelarian itu, kita masih akan menemukan jawaban bahwa semua orang yang akan kita sayangi akan lebih bahagia. Menghilang dari lari dari kenyataan adalah obat alam bagi mereka yang merindukan nafas alami kehidupan. Tidak melulu dikejar bau pabrik, panas komputer dan suara ketik keyboard di kantor, tetapi aroma rambut diri sendiri hingga kasar tangan yang dikepal sendiri. 

Di tengah ritual menghilang dan lari dari kenyataan ini, aku menyadari kalimat ku yang jahat kepada temanku dulu tentang kebodohanku yang tak tahu bahwa ritual ini sangat indah untuk dinikmati. Ternyata benar kata pepatah, orang bodoh akan selamanya bodoh. Bahkan Enstein pun pernah mengatakan bahwa pusaran kebodohan itu takkan pernah berubah dari porosnya. Kini aku menyadari bahwa teman istimewaku yang sempurna itu, ternyata juga manusia biasa yang muak menjadi mesin bagi manusia lainnya. Kebodohanku ini akhirnya menyimpulkan satu hal lagi.


Bahwa seringkali, waktu bergerak sangat lambat berjalan dalam sehari sekalipun kau sibuk berlarian dilapangan yang luas atau kau sibuk berkendara naik motor keliling kota dan terjebak dikemacetan jalanan yang sempit. Sore masih terlihat sangat lama dapat kau rasakan. Tapi saat kau duduk manis di depan teras rumah dan tak melakukan apapun, waktu sangat cepat berlalu seperti angin. 

Aku hanya ingin pesan satu hal, Nil. Jadilah Manusia. Kau bukan Mesin -Nil




Aku rasa aku terlalu muak untuk bicara banyak gelisahku kepada semua orang.
Semua orang menertawakanku.
Mendoakanku.
Mereka bilang kamu tak lagi mencintaiku.
Kamu tak lagi merindukanku. 
Kamu tak lagi mencariku sebagai seseorang yang berguna dan penting untuk dicari.
Semua yang aku ceritakan, mereka bilang adalah sebuah jawaban bahwa aku harus melepasmu dengan cepat.
Membuatku terus-menerus berharap dapat menutup telinga, mata, dan pikiranku.
Mengungkap kata tidak kepada semua yang tak mendukungku.
Tapi faktanya,
Kau memang sudah berbeda.
Dan aku mau tak mau setuju 

-Nil




Tepat delapan bulan yang lalu,
Aku menemukan seorang laki-laki yang pemberani.
Dia menelponku tengah malam, dan bicara bahwa ada rasa dalam hatinya yang menyuruhnya mendekatiku.
Dia mengatakan bahwa rasa itu tak biasa.
Dia mengatakan bahwa aku istimewa.
Dia mengatakan banyak kegelisahan yang ia pikirkan bila ia bersamaku.
Dan mengatakan banyak keindahan yang ia dapat rasakan bila menjalani hari bersamaku.
Singkat cerita, aku menerima laki-laki itu dengan harap dan cita.
Aku mulai percaya bahwa ia adalah yang terakhir, yang nantinya dengannya aku akan baik-baik saja.
Aku mulai percaya mimpi. 
Aku mulai percaya dan berpegang erat kepada laki-laki itu.
Aku mulai membuka topengku di depan dia.
Sembari berkata, “ini aku yang sebenarnya. Apa kau bisa terima?”
Dan lelaki itu menjawab iya.


Hari-demi-hari sejak hari itu,
Laki-lakiku tumbuh menjadi pria yang sempurna dimataku.
Baru kali itu, aku mendapat cinta yang luar biasa banyak.
Yang setiap hari memberiku cinta yang hangat.
Yang setiap hari selalu ada.
Bagiku dia adalah segalanya yang pernah kudapatkan.
Lalu laki-laki itu menjadi yang paling berharga dimataku.
Laki-laki itu mengubah duniaku.
Dari yang luas, aku mulai menyimpulkan mengecilkan wilayahku.
Aku mulai hidup berdua dengannya.
Bercita cita selalu berdua bahagia.
Dan memberitahu dunia bahwa hidup sudah baik-baik saja dengan dia.
Aku tak butuh yang lainnya.


Seketika itu pula,
Lelaki itu menoleh ke belakang.
Dia meninggalkanku dengan harapan dan pergi tanpa satupun pesan.
Katanya untuk membuatku merasa dewasa, ia memilih menjauh.
Tetapi aku sudah menjadi boneka yang jantungnya adalah dia.
Aku selalu merasa tak dapat bernafas dengan baik bila ia menyakiti rasa ini.
Aku selalu tertekan, tapi aku bahagia merasa tertekan.
Hal itu kulakukan lagi dan lagi.
Jatuh, sakit, jatuh, terjatuh, sakit, lalu sembuh lagi.

  
Aku mencintai laki-laki itu lebih dari yang aku kira.
Aku tak pernah membayangkan bahwa laki-laki itu dapat begitu mudahnya menjadi nadiku,
Saat darah yang hangat dan panas itu tau tau sudah dibutakan oleh dia.
Aku tak pernah membayangkan jatuh cinta sampai aku dicampakkan.
Aku tak pernah membayangkan dapat susah tidur sedemikian rumit hanya karena laki-laki ini.
Aku tak pernah membayangkan hal ini.
Aku mencintai laki-laki ini sampai membuatku gila.
Aku menutup mata, telinga, dan rasa pada yang lain.
Dan mulai berharap apa yang orang lain kabarkan jelek tentangmu tak pernah masuk ke dalam realitaku.

Aku mulai berharap kau mati bersamaku.
Merasakan rindu yang sedemikian mencekam.
Merasakan rasanya sakit yang menyenangkan.
Menunggu orang yang kita cinta.
Aku ingin kamu merasakan dunia berjalan sangat lambat dari yang kamu harapkan,
Dan kamu seakan terbakar dengan api setiap kali kamu liat detik menit dan jam berputar sangat lama.
Aku ingin kamu merasakan cemburu. Melihat pasanganmu bersama dengan yang lain. Tertawa dengan yang lain.
Aku ingin kamu merasakan. Bahwa dalam tidurpun, tak ada satu detik tersisa tanpa memikirkanmu.
Hingga malam menjadi musuh bagi detak jantung yang sahut menyahut di antara bantal dan guling kamarmu.
Aku merasakan itu sebulan.
Kamu merasakannya selamanya.

4 Juli 2017
@ruang humas
Ketika aku letih menghitung tanggal dan jam dan aku ketakutan melewati tiap hari

Sebelum aku bertemu denganmu Sabtu depan



(Lagu dapat di dengarkan di youtube ini)

Ku bawakan ku bawakan
Kau nyala api
Tiuplah tiuplah 
Mati kembali

Mari kita rayakan cemburu
Yang sedang ganas ganasnya menyerang
Tepat di ulu 
hatimu 

Beri juga beri juga 
Tepuk tangan yang riuh 
Untuk dia untuk dia
Yang memilih menjauh
Bergegas berkemas berlayar 
Dari tangisanmu
Yang mulai melanda
Saat kau sedang sayang sayangnya 
Di bawah bulan yang bulat sempurna
Kau memintaku bersaksi

Aku ingin jadi jantungmu dan berhenti semauku
Agar kau tahu 
Rasanya hampir mati 
Ditikam patah hati
Aku ingin jadi jantungmu dan berhenti semauku
Agar kau tahu 
Rasanya hampir mati 
Ditikam patah hati 

Dengarlah tidak
Kau suara itu 
Dengarlah tidak 
Kau suara itu 

Itu suara 
Detak nya nyawaku 

-------

Ku perintahkan 
Pada langit 
Tuk meminta matahari 
Kembali pulang 
Pulang 
Kembali 
Ke punggung lautan 

Karena ku rindukan ibu bulan
Memainkan lagu romantisnya
Ditambah ubut dan kita yang sedang 
Menari di atas merahnya anggur 

Seperti sihir dua bibir kita 
Anggun berayun 
Mendekat melekat
Jantung kita tak seirama 
Apakah ini namanya 

Mungkinkah ini bahasanya untuk orang orang sepertiku
Apakah mungkin 
Ini yang lama aku tunggu 


Seperti sihir dua bibir kita 
Anggun berayun 
Mendekat melekat
Jantung kita tak seirama 
Apakah ini namanya 


Jangan 
Jangan kau percaya 
Ini bukan 
Seperti 
Yang kau kira 

Jatuh cinta tak selalu tak sengaja
Jatuh di tanah ubud


Nama Buku      : By: Coffeshop (Pesan dari Kedai Kopi)
Penulis             : Lubna Iasya
Penerbit           : Ellunar Publisher
Tahun Terbit    : 2018
ISBN                : 978-602-5938-30-6

Orang sangar yang bukunya kubaca malam itu. Di Rendezvous. Yang setelah ini, dan seterusnya. Akan kusebut .... Kamu.

Sebelum aku mulai mereview buku ini, aku ingin bercerita tentang bagaimana buku ini menarik di mataku. Kemarin, buku ini sampai ditanganku dari seorang teman. Temanku ini kemudian bercerita tentang temannya yang menulis buku ini dan singkat cerita, temanku memintaku menuliskan review. Setelah sekian lama aku tak pernah menulis lagi, sebuah tantangan baru ada di depan mata. Bagaimana tidak? Menurutku melakukan review adalah sesuatu yang cukup rumit. Kau harus paham betul isinya, kau harus sadar betul makna tulisannya, dan kau harus buat orang percaya apa yang kamu telah baca. Keraguan seperti ini selalu muncul setiap kali aku berani membaca karya orang. Tapi, aku beranikan diri lebih besar untuk mereview buku ini lebih dulu.

Buku hangat 96 halaman ini berisi sebelas part cerita yang manis. Seperti judulnya yang bertema coffeshop, cerita dalam buku ini tak jauh dari latar suasana kafe yang penuh dengan aroma pahit, manis, dan membuat penasaran. Tokoh aku, digambarkan sebagai seorang perempuan yang berkenalan dengan barista aneh tapi hangat di kafe tersebut . Lewat berbagai kisah yang ditulis seperti jurnal harian, tokoh aku menunjukkan kedekatannya lewat dialog-dialog yang tenang dan penuh makna. Percayalah, setiap part cerita memiliki kesimpulannya sendiri. Gaya tulisannya yang ringan membantu pembaca untuk dapat terus mengikuti kisahnya hingga akhir.

Sebagai remaja yang masih berusia tujuh belas tahun, penulis sudah berani menunjukkan kisah yang runtut yang dapat dibaca oleh seluruh kalangan usia. Kau tahu, satu hal yang aku pelajari dari buku ini adalah keberanian untuk dapat menulis secara  apa adanya. Buatku pribadi, tidak banyak penulis dapat melakukannya. Kisah yang semacam ini mungkin bisa ditemukan di novel teenlite yang biasa kita baca. Sementara,  part yang cukup menarik untukku adalah part #1 Aku yang membuka kisah ini dengan manis. Menurutku, buku ini sangat cocok untuk di bawa di kafe bersama dengan secangkir kopi atau teh hangat. Lengkap dengan senyuman yang akan tiba-tiba muncul dari wajahmu setiap kamu membaca kisah-kisahnya. (nil)

Aku cepat cepat keluar dari kafe. Gawat! Aku mulai takut kehilanganmu.