Saat itu definisi sakit menurutku adalah seperti ini:
Waktu itu, melihat banyak hal yang berkaitan denganmu, aku menghindar. Melihat warna yang paling kau suka, aku  menjauh. Mencium aroma parfum yang sering kau gunakan, aku mencela. Merasakan ada keberadaanmu disampingku, aku gelisah. Memilih tahu apa pun tentangmu di sosial media, aku penasaran. Mengetahui banyak gossip beredar tentang kita, aku putus asa. Rasanya sakitnya membuatku susah makan. Rasanya mulia sekali mendoakanmu dengan dendam. Rasanya dunia meninggalkanku. Orang yang ku anggap selalu yang pertama ada, menjadi yang paling terakhir mau tahu.

Lalu aku tahu, definisi itu diciptakan karena begini: 
Aku membahasakan semua kata dalam kisah yang entah berakhir entah tidak ini. Pada saat itu, aku juga masihlah menyimpan rasa sakit dalam sakit sakit masa lalu yang aku bandingkan. Lalu aku menyerah karena menjadi tak berdaya, dan bodoh karena merasa hidup telah berhenti karena aku sudah tak lagi istimewa. Rasa sakitnya diciptakan karena aku tahu kau telah tahu lebih banyak tapi menyadari bahwa kau pura pura tak tahu tentang semua itu. 

Kemudian, 
Pada suatu sore sambil menyeduh teh hangat dan menunggu hujan reda di dekat jendela sebuah rumah, rintik air hujan mengajari sesuatu yang menciptakan definisi sederhana tentang harapan : 
Rintiknya mengajariku sabar menunggu. Bahwa nanti hujannya akan berhenti, matahari akan berada di atas awan lagi untuk menghangatkan semua yang ada dibumi, dan badai akan pergi bersama dengan kehadiran sebuah pelangi yang berwarna-warni. 
Rintik di antara rumput liar mengajariku bahagia. Bahwa nanti kebun penuh rumput liar itu akan meninggalkan bau hujan yang khas, menyuruh seseorang berlari keluar mengecek cuaca yang telah berganti. Rintik air di rumput liar itu akan bergoyang. Lalu ia akan membuat sejuk kaki kaki yang berlari cepat.  
Sementara Aroma Hujannya mengajariku tentang sebuah kenyamanan. Bahwa sendiri dengan segelas teh hangat adalah sebuah pilihan yang istimewa yang hanya dapat dilakukan perempuan mandiri. Yang dalam perjalanannya selalu berharap punya pendamping untuk berbicara kalimat mesra. Tapi diriku memilih hangat bersama sebuah teh hangat sore itu. 
Teh hangatnya tiba-tiba berubah menjadi harapan. 
Bahwa segelas teh bisa menjadi dua gelas teh yang saling bertemu. 
Bisa menjadi tiga, empat, dan ratusan yang lainnya. 
Aku tersenyum sendiri. 
Aku lelah dan menyerah dalam nyaman. 
Aku tahu rasanya sudah tak seperti dahulu. 
Rasanya sakitnya sudah tak seperti dahulu.




(Nil)


Dulu banyak orang bilang, hidup itu keras.
Kita harus bisa mendapatkan apapun, dan karenanya kita harus menjadi pribadi yang ditakuti banyak orang. Kita harus siap berjuang. Kita wajib punya senjata. Entah berjuang sendiri atau mengorbankan orang lain, itu tidaklah sepenting bagaimana kita bertahan. Jadi, orang menggampangkan banyak hal untuk dapat masuk ke dalam tempat yang dia inginkan, atau bisa jadi mereka harus mau tidak mau membunuh siapapun yang ada di depannya. Termasuk temannya sendiri. Bahkan saking gilanya, termasuk keluarga yang satu darah daging dengannya.

Karena kita tahu hidup itu keras, orang-orang yang sudah berkuasa pada jamannya, bertindak seenaknya. Mereka memanfaatkan apa yang mereka punya. Orang kaya harus dan akan menjadi kaya selamanya. Orang miskin tetaplah menjadi demikian sampai dia menyaksikan tayangan sinetron yang intinya menyuruh mereka menjadi jahat, lalu mereka dapat mengubah kehidupannya. Orang-orang yang terjebak dalam dimensi itu tetaplah seorang pejuang. Dalam hidupnya mereka hanya mengenal bagaimana mereka naik. Mereka tak mau turun. Mereka bahkan tak mau menoleh ke bawah hanya untuk melihat dengan seksama. Mereka ditakdirkan sebagai petarung yang punya harga diri yang tinggi. Jauh dari itu, tujuan mereka sama : menjadi yang tidak akan kecewa sampai akhir.

Berjuang juga bukan hanya sebuah kata benda yang hanya dianggap sepele oleh mereka. Bejuang adalah kata kerja. Seperti bagaimana mereka berdoa siang dan malam, seperti bagaimana mereka mencari uang siang dan malam, seperti bagaimana mereka berharap besok mereka akan tetap berada di puncak kesuksesan. Orang yang kaya akan tetap mempertahankan dirinya di atas, mereka yang miskin akan mendapat hadiah lotre dan akhirnya dapat berdampingan dengan kalangan atas.

Seperti itulah hidup.
Dulu dan sekarang, hidup tetaplah keras untuk seseorang yang mengabdikan dirinya sebagai seorang petarung. Mereka yang boleh kecewa dengan hidupnya, adalah seorang petarung yang telah banyak mengorbankan hidupnya hanya untuk naik di level terbaiknya. Mereka yang boleh kecewa dengan hidupnya, adalah seorang petarung yang telah banyak diremehkan oleh kalangan di sekitarnya. Mereka yang boleh kecewa dengan hidupnya, adalah seorang petarung yang telah melalui banyak hal. Di tinggalkan orang yang disayanginya, Di abaikan dalam hidupnya, Dimanfaatkan oleh banyak temannya, lalu dibuang bagaikan tak pernah ada di hidup ini selama-lamanya. Mereka yang boleh kecewa dengan hidupnya, tidak hanya orang-orang yang dikategorikan kaya atau miskin, baik atau jahat, dan cantik atau jelek. Tapi mereka yang boleh kecewa itu yang kayak mereka. Yang dari matanya selalu ada harapan untuk bertahan, meskipun rasa hati ingin mati setiap kali berdiri sendirian. Yang dari gerak tubuhnya masih terlihat rasa percaya diri bahwa besok dirinya akan baik baik saja, dan hidup akan menjadi lebih baik dari biasanya. Yang dari hatinya, selalu ada kata maaf. Meskipun ia tak pernah berbuat salah, ia tak pernah menyakiti orang lain, tapi selalu menjadi yang sebaliknya.

(Nil)