Nama Buku      : Burial Rites Ritus-Ritus Pemakaman
Penulis              : Hannah Kent
Alih Bahasa     : Tanti Lesmana
Penerbit            : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit      : 2014
ISBN                : 978-602-03-0906-4
Jumlah Hlm     : 416 hlm; 20 cm

lelaki yang luar biasa, lelaki dari buku-buku cerita-telah memilihku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, seseorang melihatku, dan aku mencintainya karena dia telah membuatku menjadi diriku semata-mata sudah cukup. Agnes, hal 271-272.

Apa kamu menyukai novel-novel bergenre Roman Kontemporer? Atau belum pernah membaca novel bergenre seperti ini? Sepertinya novel ini akan jadi rekomendasi paling menarik yang aku berikan kepadamu. Bagaimana mungkin sebuah cerita bersetting tahun 1829 dan bercerita tentang sebuah kisah tragedi nyata ternyata memilih kisah yang cukup mendalam bagi tokoh utamanya? Bagaimana membaca kisahnya kita digiring seperti kita dapat mengenal tokoh utamanya secara lebih mendalam dan akhirnya memahami apa alasan terjadinya tragedi dalam novel ini?

Kamu akan berkenalan dengan Agnes Magnusdottir, seorang pelayan wanita biasa yang hidup berpindah-pindah dari satu pertanian ke pertanian yang sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati atas dirinya. Kota kecil di Islandia Utara, tempat Agnes diasingkan sebelum menerima hukuman tidak memiliki sebuah penjara sehingga Ia akhirnya ditempatkan di rumah keluarga petugas wilayah bernama Jon Jonsson. Bersama Istrinya Margret, dan kedua anaknya Lauga dan Steina, serta satu asisten Pendeta bernama Toti, Agnes mengalami pergolakan batin selama mempersiapkan diri menerima hukuman.

Penulis Novel ini begitu kurang ajar mengajak kita sebagai pembaca ikut larut dalam kisah-kisah misterius Agnes. Agnes yang sejak kecil hidup dalam belas kasihan orang lain, merupakan pelayan yang cerdas, yang jatuh cinta pada Natan Ketilsson. Laki-laki pertama dalam hidupnya yang melihat dia apa adanya. Laki-laki ini lah yang ditemukan tewas dibunuh dan diduga aksi tersebut dilakukan oleh Agnes dan dua orang terdakwa lainnya. Bagiku, Agnes dengan kisah misteriusnya terus menggirim pikiran kita untuk lebih memahami perasaan Agnes tentang berbagai hal seperti masa lalunya, hingga apa saja yang dialaminya selama ini. Perbincangan ini juga yang membuat Toti akhirnya paham bagaimana perasaan Agnes sesungguhnya.

Terlepas dari kisah roman yang menjadi poin dari kisah dalam novel ini, sebenarnya menurutku novel ini juga membaca pemahaman baru tentang bagaimana kondisi sosial masyarakat pada saat ini di tahun 1829. Bagaimana perbudakan masih sering disahkan, bagaimana perempuan diberikan posisi yang rendah dibandingkan laki-laki. Budaya Islandia yang kental juga dapat kita rasakan ketika kita membaca cerita-cerita dari masing-masing bab. Point penting lain yang ada dalam novel ini adalah bagaimana penulis tetap mencantumkan penggalan-penggalan ayat yang justru menebalkan keimanan kristiani yang membacanya.

Buku ini sebenarnya diangkat dari kisah nyata. Meski beberapa cerita adalah fiksi yang ditambahi, penulis berterusterang bahwa ia telah berusaha mengumpulkan berbagai data dari berbagai surat, catatan-catatan gereja, arsip-arsip paroki, artikel, hingga hasil wawancara dengan masyarakat setempat saat menulis kisah ini.  Meski demikian, penulis berusaha untuk memberikan kejutan di tiap bab yang kita baca dengan menampilkan alur yang maju mundur. Selain itu, buku yang kubaca adalah buku terjemahan yang sangat bagus. Aku mengapresiasi penerjemah yang berhasil menyempurnakan buku ini dengan pilihan katanya yang cukup familiar untuk dipahami. Sayangnya, aku pribadi masih sedikit terganggu dengan tokoh ‘aku’ yang digambarkan dalam cerita. Ketidakkonsistenan merupakan salah satu alasannya. Jadi kadang aku masih salah menebak siapa tokoh aku karena banyak tokoh dalam novel ini menjadi tokoh aku.

Mereka tidak membolehkan aku menyampaikan peristiwanya dengan caraku sendiri, mereka mengambil kenangan-kenanganku tentang Illusgastadir, tentang Natan dan memelintirnya menjadi sesuatu yang jahat; mereka merampas kenyataanku  tentang malam itu dan membuatku tampak keji.” (Hal 127)
 Kami akan mengingatmu, Agnes.” Margret meremas tanganku lebih erat sampai aku nyaris memekik oleh rasa sakit. Dan tahu-tahu aku menangis.  Aku tidak ingin diingat. Aku ingin berada di sini! (Hal 394)