Suatu kali, aku membaca sebuah kisah dramatik karya Pram, seorang sastrawan Indonesia yang berhasil menghidupkan kisah seorang tokoh nyata dalam roman roman bertema sejarah. Terus terang, aku tak terlalu menyukai kisah berat. Tapi kisah yang satu ini membuatku kembali menghadapi dilema. Dalam buku Tetralogi Buru (Bumi Manusia,Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), Pram menghidupkan sosok Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo dalam sosok Minke. Dalam cerita itu, MInke memulai kisah cinta dengan Annelies, seorang peranakan Belanda dengan pribumi bernama Sakinem. Dalam kisah ini, aku menyukai tokoh Sakinem yang lebih dikenal dengan nama Nyai Ontosoroh. Ia sosok yang tegar dan lebih terpelajar dari orang Belanda dan kemudian di ceritakan menjadi guru panutan Minke di kemudian hari. 

Suatu kali, ada satu titik di mana Minke tidaklah ingin menulis. Ada sebuah konflik yang membuat emosinya begitu. Lalu dalam ketegasan, Nyai Ontosoroh berkata kepada Minke "Kau tahu mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? karena kau menulis.Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari." 

Ucapan itu membuatku berhenti membaca. Ku tutup buku Pram pelan setelah aku menandai halamanku. Lalu,mulailah aku merenung. 

Menurutku, ucapan Nyai sungguh membuat perasaanku bergejolak.
Pada posisi seperti saat ini, aku mengalami kemunduran yang asing yang tak dapat aku hindari.
Tulisan, salah satu penanda langkahku, aku hentikan sementara waktu.
Itu sebabnya aku tak terbiasa menulis akhir akhir ini.
Langkah dalam hidupku yang berisi kisah sedih dan menyeramkan, terhenti tanpa jeda seakan aku kehabisan nafas untuk berjalan. 
Perenunganku terus berlanjut hari demi hari. 
Aku tak berani melanjutkan kisah Pram, aku tak berani barang sedikitpun membaca kisahnya lagi. 
Aku mulai mempertanyakan tujuanku. 
Bila Nyai benarlah berada di depanku mengatakan hal semacam itu, apa yang harus aku jawab?
Aku mulai mempertanyakan siapa yang akan lebih menyayangiku lebih dari siapapun.
Bila Nyai mengatakan dia menyayangiku karena aku menulis, sementara sekarang tidak, aku hanya makhluk tidak berguna yang tak ada suaranya.
Aku mulai mempertanyakan suaraku.
Kemanakah dia? Hilangkah dia? sendirikah dia sekarang? menjadi tokoh minoritaskah dia saat ini?

-Nil