REVIEW: KARNAK CAFE (Najib Mahfudz)

, , No Comments
Photo by @nilayunilasari


Nama Buku : Karnak Cafe
Penulis : Najib Mahfudz (Pemenang Nobel Sastra 1988)
Penerbit :  Pustaka Alvabet Anggota IKAPI
Tahun Terbit : 2008
Isbn : 978-979-3064-55-0
Dimensi Buku : 180 hlm, 11x18 cm


“Musuh Orang Arab yang Paling Berbahaya adalah diri mereka sendiri.”

Waktu pertama kali aku mendapatkan buku ini dari seorang teman, dia berucap bahwa buku kecil ini adalah buku wajib yang dihadiahkan untuk bisa aku review. Awalnya penasaran. Siapa sosok Najib Mahfudz itu? Dan setelah sekian lama membaca keseluruhan buku ini, aku mulai sadar pentingnya kita me-review buku dari sastrawan Mesir ini.

Novel ini ditulis untuk mengenang sebuah moment krusial yang terjadi di Mesir di akhir tahun 1960-an. Kecemasan dan kekacauan saat itu diakibatkan dari kalahnya Mesir melawan Israel di tahun 1967 dan akhirnya pengkhianatan, saling tuduh, dan curiga menjadi bagian dari kehidupan  masyarakat pada saat itu.

Novel ini mengambil latar sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan raya bernama kafe Karnak. Tidak seperti kebanyakan kafe, tempat ini menjadi tempat berkumpul sekelompok manusia muda yang merupakan aktivis ekstrem dan berpandangan provokatif. Qurunfula, sang pemilik kafe menjadi daya tarik tersendiri dari perkumpulan tersebut. Para aktivis yang biasanya berkumpul di pojok kafe mulai meledakkan antuasisme dan teriakan terkait sejarah revolusi 1952, pergerakan tentara Mesir ke Sinai di tahun 1967, dan kekalahan Mesir pada Juni 1967. 

Keberanian kelompok ini memunculkan suatu peristiwa ganjil yang mulai merubah isi kafe Karnak: Hilangnya Hilmi Hamada, Zainab Diyab, dan Ismal Al-Syaikh secara misterius. Kabar yang terdengar adalah penangkapan paksa dari kaum Revolusi. Tapi yang pasti adalah, tidak jelasnya keberadaan ketiga pengunjung setia kafe ini. Peristiwa ini merubah suasana kafe dan pengunjungnya. Beberapa orang enggan menjawab penyebab hilangnya mereka dan juga enggan menanyakan apa yang terjadi seakan-akan hal tersebut adalah suatu beban yang berat bagi mereka.

Sebenarnya, saat membaca buku ini, aku banyak belajar tentang pemikiran komunitas dan ideologi yang diwakilkan masing-masing tokoh. Contoh sederhananya adalah tokoh pemilik kafe, Qurunfula yang digambarkan sebagai mantan penari perut yang mendobrak peradaban tari perut sebagai budaya yang terhormat sesuai dengan caranya, atau tokoh Ismail Al Syeikh yang ternyata memiliki kisah asmara dengan Zainab Diyab sahabat kecilnya. Menariknya, novel yang bercerita dari sudut pandang pencerita tunggal tersebut mengungkapkan karakter masing-masing tokoh dengan jelas dan komplit. Sang penulis juga dengan cerdasnya menceritakan semua hal terkait peristiwa revolusi dengan bahasa percakapan yang sederhana sehingga hal tersebut menarik pembaca untuk dapat masuk ke dalam cerita.

Kebetulan, novel Karnak Cafe yang kubaca adalah novel terjemahan dari Happy Susanto. Terjemahannya sangat baik untuk dimengerti dan tidak terlalu ribet untuk dipahami. Sayangnya, beberapa percakapan mengenai sejarah revolusi cukup membingungkan untukku yang tidak bisa memahami istilah istilah pergerakan ataupun istilah dari Mesir. Tapi hal tersebut tidak mempengaruhi kamu yang suka dengan bacaan bergenre sejarah atau peradaban Mesir.


0 komentar:

Post a Comment