SAJAK TENTANG HILANG DAN LARI DARI KENYATAAN

, , 1 comment


Dulu, aku punya seorang teman.
Kebiasaanya yang selalu ku kritik adalah menghilang dan lari dari kenyataan.
Aku selalu lihat dia bahagia, hidup dengan banyak keberuntungan yang aku inginkan.
Dia tak pernah kesusahan mendapatkan buku yang aku incar,
Dia tak pernah kesulitan mengerjakan seluruh soal yang aku kerjakan.
Bagiku saat itu, dia adalah pusat dunia orang lain.
Itu sebabnya dia nampak terlalu bercahaya di mata semua orang yang melihatnya.

Tidak seperti manusia lain, aku mengkritiknya karena payah telah mencoba pura-pura lemah.
Ku bilang dia tidak punya alasan melakukan itu.
Menghilang dan lari dari kenyataan hanyalah kebiasaan yang bisa dilakukan orang yang tak punya harapan.
Temanku itu hanya tersenyum. Dia tak pernah sedikitpun membalas ocehanku.
Empat tahun kami berteman, temanku terus melakukan itu.
Dan aku menyerah menasehatinya.


Hari ini,
Di tengah kebisingan jalanan dan panas matahari siang bolong,
Aku melakukan hal bodoh yang aku tidak sukai dari temanku itu.
Menghilang dan lari dari kenyataan.
Lalu detik ini pula, aku menyadari jawaban dari pertanyaan bodoh dan kurang ajarku pada temanku dulu.


Menghilang dari mata satu manusia yang sering kita temui bukan berarti lalu sirna. Hilang ditelan bumi atau mati di kubur hidup hidup seperti kita tidak ada lagi. Melarikan diri dari kenyataan juga bukan berarti hilang tanggung jawab. Sontak kemudian hanyut dalam dunia malam, lupa ingatan, atau kemudian tidak mengenal siapa siapa lagi di hari berikutnya kita hidup. 

Aku baru sadar, bahwa menghilang dan lari dari kenyataan yang dilakukan temanku dulu dan aku saat ini adalah membiarkan diri kita keluar sementara dari topeng dan memberi waktu baginya merasakan hidup sekali-kali. Meski dalam kegiatan menghilang dan melarikan diri itu kita masih akan terus menanggung pikiran tentang apa yang kita tinggalkan, hidup hari itu akan membuatmu sedikit bernafas seperti manusia bodoh yang tak salah apa-apa. Meski dalam kegiatan menghilang dan melarikan diri itu, kita pastilah akan terus berfikir tentang keberadaan orang-orang yang kita sayangi. Kita akan bertanya-tanya 'apakah mereka mencari?' tapi dalam  pelarian itu, kita masih akan menemukan jawaban bahwa semua orang yang akan kita sayangi akan lebih bahagia. Menghilang dari lari dari kenyataan adalah obat alam bagi mereka yang merindukan nafas alami kehidupan. Tidak melulu dikejar bau pabrik, panas komputer dan suara ketik keyboard di kantor, tetapi aroma rambut diri sendiri hingga kasar tangan yang dikepal sendiri. 

Di tengah ritual menghilang dan lari dari kenyataan ini, aku menyadari kalimat ku yang jahat kepada temanku dulu tentang kebodohanku yang tak tahu bahwa ritual ini sangat indah untuk dinikmati. Ternyata benar kata pepatah, orang bodoh akan selamanya bodoh. Bahkan Enstein pun pernah mengatakan bahwa pusaran kebodohan itu takkan pernah berubah dari porosnya. Kini aku menyadari bahwa teman istimewaku yang sempurna itu, ternyata juga manusia biasa yang muak menjadi mesin bagi manusia lainnya. Kebodohanku ini akhirnya menyimpulkan satu hal lagi.


Bahwa seringkali, waktu bergerak sangat lambat berjalan dalam sehari sekalipun kau sibuk berlarian dilapangan yang luas atau kau sibuk berkendara naik motor keliling kota dan terjebak dikemacetan jalanan yang sempit. Sore masih terlihat sangat lama dapat kau rasakan. Tapi saat kau duduk manis di depan teras rumah dan tak melakukan apapun, waktu sangat cepat berlalu seperti angin. 

Aku hanya ingin pesan satu hal, Nil. Jadilah Manusia. Kau bukan Mesin -Nil


1 comment:

  1. Aku, saat berhasil nangis di sela semua air mata dari si pencerita.

    Ingin melakukan perjalanan-perjalanan panjang...

    ReplyDelete